Keberadaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali kembali menjadi wacana
hangat menyusul adanya rencana untuk memasukkan LPD dalam salah satu
payung hukum nasional: UU LKM, UU Koperasi atau menjadi Badan Usaha
Milik Desa. Terakhir, DPRD Badung yang merancang peraturan daerah
(perda) inisiatif mengenai LPD bertemu Komisi VI DPR RI. Tujuannya,
untuk memperjuangkan agar LPD bisa dipayungi hukum nasional tanpa
mentransformasi bentuk dan semangat LPD sebagai lembaga khas milik desa
pakraman. Konon, Komisi VI mengapresiasi usulan Bali itu dan memasukkan
klausul khusus mengenai LPD dalam RUU LKM.
Namun, penting
untuk diingatkan bahwa semangat LPD sesungguhnya sangat khas Bali.
Karena itu, perlu dicarikan format khusus. Jangan terburu-buru memasukan
LPD dalam payung hukum nasional. Sepintas memang tampak menguntungkan
LPD tetapi sesungguhnya malah bisa menghilangkan semangat dan hakikat
LPD sebagai pelaba milik desa pakraman.
Sejak pertama kali dicetuskan tahun 1984, keberadaan LPD memang terbukti
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan sekaligus
menyangga tumbuh dan berkembangnya budaya Bali sebagai aset bangsa. LPD
tidak saja memerankan fungsinya sebagai lembaga keuangan yang melayani
transaksi keuangan masyarakat desa tetapi telah pula menjadi solusi atas
keterbatasan akses dana bagi masyarakat pedesaan yang nota bene merupakan kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi terbatas.
Kesuksesan LPD ini merupakan buah dari konsep pendirian dan pengelolaan
LPD yang digali dari kearifan lokal dan kultural masyarakat Bali yang
berbasis pada kebersamaan, kekeluargaan dan kegotong-royongan (sekaa).
Kendati ide pendirian LPD berasal dari Pemerintah Daerah Bali (Gubernur
Prof. IB Mantra), akan tetapi sejatinya gagasan itu digali dari sesuatu
yang telah berkembang sebagai kultur dan kearifan lokal masyarakat Bali.
Artinya, gagasan LPD sesungguhnya berakar pada adat dan budaya
masyarakat Bali.
Penyebab kesuksesan LPD juga berasal dari pola pengelolaan yang berbasis
komunitas dengan landasan nilai-nilai kekeluargaan dan
kegotong-royongan dalam bingkai adat dan budaya Bali. Masyarakat di Desa
Pakraman menjadi pemilik sekaligus pengelola LPD yang menjalankan tugas
dan fungsinya dalam ikatan komitmen untuk mencapai kesejahteraan dan
kemajuan bersama.
Sebagai buah dari inisiatif dan pengelolaan oleh masyarakat Desa
Pakraman itu lalu hasil yang dicapai juga akhirnya dinikmati secara
bersama-sama. Hasil bersama itu tidak saja tercermin melalui manfaat
ekonomi, tetapi yang jauh lebih penting adalah manfaat sosial-budaya
berupa semakin kokohnya adat dan budaya. LPD menjadi sumber utama
pendanaan kegiatan adat, budaya maupun sosial masyarakat di Desa
Pakraman.
Artinya, secara sederhana dapat disimpulkan LPD sesungguhnya merupakan
sebuah implementasi dari konsep pembangunan berbasis komunitas.
Istimewanya, konsep ini lahir, tumbuh dan pada akhirnya berpulang kepada
kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, LPD merupakan wujud gerakan
masyarakat desa pakraman membangun dirinya sendiri. Membangun dirinya
sendiri tidak semata-mata dalam pengertian swadaya, tetapi juga
swakelola dan swasembada. Pembangunan desa diawali dan dibiayai dari
kemampuan masyarakat sendiri melalui pengelolaan potensi yang dimiliki
sendiri dan pada akhirnya juga untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Aset Bali, Potensi Bangsa
Harus diakui, LPD sebagai aset penting Bali karena fungsinya yang sangat
fundamental untuk menyangga adat, budaya dan kehidupan sosial
masyarakat Bali. Tersangganya adat, budaya dan kehidupan sosial
masyarakat Bali merupakan harapan tidak hanya masyarakat Bali tetapi
juga bangsa Indonesia. Lantaran adat, budaya dan kehidupan masyarakat
Bali merupakan aset sekaligus potensi bangsa Indonesia.
Kendati pun pada awalnya kelahiran LPD berangkat dari kearifan lokal
untuk menyangga adat dan budaya masyarakat Bali, pada kenyataannya LPD
berperan dalam mengatasi permasalahan bangsa di tingkat desa.
Permasalahan-permasalahan itu di antaranya membuka akses sumber dana
yang lebih mudah bagi masyarakat pedesaan sehingga mereka bisa berdaya
secara ekonomi mencapai kesejahteraan. Tidak hanya akses sumber dana,
LPD juga membantu mengatasi masalah fundamental masyarakat pedesaan
yakni pendidikan dan kesehatan. Banyak LPD di Bali kini yang
mengembangkan usahanya tidak saja dari aspek ekonomi semata tetapi juga
berperan memberdayakan masyarakat melalui produk-produk inovatif dalam
mendorong pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan.
Dalam bidang pendidikan misalnya, sejumlah LPD di Bali memberikan produk
dana pendidikan bagi masyarakat desa. Produk ini merupakan upaya
mendidik masyarakat menyiapkan biaya pendidikan anak-anaknya yang kian
hari kian mahal. Dengan begitu, tidak sampai terjadi angka putus sekolah
di desa. Produk ini di luar program pemberian santunan pendidikan
secara rutin bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Dalam bidang kesehatan, sejumlah LPD di Bali juga membuat produk dana
kesehatan bagi masyarakat desa. Produk-produk serupa terus pula
dikembangkan untuk mengatasi persoalan-persoalan lain yang dihadapi
masyarakat pedesaan.
Oleh karena itu, keberadaan LPD merupakan aset dan potensi bangsa yang
sangat penting untuk dipertahankan. Mempertahankan LPD tidak hanya
berarti menjamin terjaganya adat, budaya dan kehidupan sosial masyarakat
Bali tetapi juga memperkokoh pembangunan dan kemandirian bangsa
Indonesia.
Bahkan, yang dibutuhkan bukan semata-mata upaya untuk tetap
mempertahankan LPD tetapi juga komitmen dan kebijakan yang
sungguh-sungguh untuk makin memperkuat posisi LPD. Dengan begitu, LPD
akan semakin mampu memaksimalkan perannya dalam pembangunan bangsa.
Kini, setelah 26 tahun LPD berfungsi sebagai kamadhuk, sebagai sapi yang
menghasilkan susu sehingga desa pakraman bisa menjaga adat, budaya dan
tradisi Bali, muncul aneka pemikiran mengenai LPD. Cukup banyak memang
yang berpikir untuk menjaga keajegan LPD. Namun tak jarang juga yang
berpikir untuk mengkerdilkan LPD karena LPD dianggap sebagai pesaing.
Tidak sedikit pula yang menyadari kekuatan besar desa pakraman yang
ditopang LPD sehingga perlu dilemahkan untuk tujuan-tujuan politis
tertentu. Karena itu, dibutuhkan kehati-hatian, ketenangan berpikir,
kejujuran dan ketulusan untuk menjaga LPD, bukan malah sebaliknya. (b.)
sumber : http://www.balisaja.com/2011/02/lpd-penyangga-adat-dan-budaya-bali.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar